Masa Muda
Prof. DR
(HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ
Habibie (73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25
Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan
menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa
[ibunya] dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].
Foto : BJ
Habibie
Dimasa
kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di
Teknik Mesin Institut
Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische
Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A.
Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk
menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.
Berbeda
dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri,
kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang
melakukan usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi
suaminya (ayah Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat
di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie
memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma
teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain)
dengan predikat summa cum laude.
Pak Habibie
melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun
Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie
harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya.
Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965,
Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor
Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude.
Karir di Industri
Selama
menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk
menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di
Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala
Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian
menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang
komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4
tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus
Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior
bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi
satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan
pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum
memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam
desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri
Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun
intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie
menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan
dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa
rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“,
“Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali ke Indonesia
Pada tahun
1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di
industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat
bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk
mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat
bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian
maritim dan darat). Dan ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman
untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung
bersedia dan melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal
ini dilakukan BJ Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa
ini. Pada 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air.
Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden)
di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978.
Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke
Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di
MBB.
Habibie
mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan
Pesawat Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997,
ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek)
sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan
berbagai jabatan lainnya.
Pesawat
CN-235 karya IPTN milik AU Spanyol
Ketika
menjadi Menristek, Habibie
mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi negara industri
berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam strategi pembangunan
yakni melompat dari agraris langsung menuju negara industri maju. Visinya yang
langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri mendapat pertentangan dari
berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang menghendaki pembangunan
secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di bidang pertanian. Namun,
Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu “quote” yang
terkenal dari Habibie yakni :
“I have
some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one
kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one
kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of
high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.”
(Sumber : BBC: BJ Habibie Profile
-1998.)
Kalimat
diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya.
Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan
ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan
hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah
USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang
hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan
massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir
Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia
menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi
Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie
dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri
strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.
Habibie menjadi RI-1
Secara
materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman.
Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice
President sekaligus Senior Advicer di perusahaan high-tech
Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang
ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih” kepada negara
dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap serupa pun
ditunjukkan oleh Kwik
Kian Gie, yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun
dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak
dilakukan oleh para politisi saat ini yang menjadi politisi demi mencari
kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.
Tiga tahun
setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar
Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada
tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui
Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia
termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS
menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga
membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta
yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan
pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Pada saat
bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat
Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat,
politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter,
yang menangkap aktivis dan mahasiswa vokal.
Dipicu
penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998,
meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada
pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada
12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato.
Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden
yang dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah,
pemerintahan otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula,
banyak kebenaran yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan
pengasingan Pres Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi
Soeharto dengan pihak Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam
oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni,
IMF dan konglomerasi).
Soeharto
mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3
berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya
bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie
mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden
Habibie berhasil memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-krisis,
melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses
melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa
perubahan signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie merupakan
presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di bidang IPTEK
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam bidang teknologi
pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor
of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia, antara
lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Catatan-Catatan Istimewa BJ Habibie
Habibie Bertemu Soeharto
“Laksanakan
saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah SWT
dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara bathin saja“, lanjut
Pak Harto menolak bertemu dengan Habibie pada pembicaraan via telepon pada 9
Juni 1998.
(Habibie :
Detik-Detik yang Menentukan. Halaman 293)
Salah satu
pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak mengetahui adalah bagaimana
Habibie yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu dan akrab dengan Soeharto
yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Pulau Jawa?
Pertemuan
pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika Habibie
berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar
dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa
pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal berseberangan dengan rumah
keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie merupakan orang Jawa,
maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga Habibie.
Bahkan, Soeharto turut hadir ketika ayahanda Habibie meninggal. Selain
itu, Soeharto pun menjadi “mak comblang” pernikahan adik Habibie dengan anak
buah (prajurit) Letkol Soeharto. Kedekatan Soeharto-Habibie terus berlanjut
meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa setelah berhasil memberantas
pemberontakan di Indonesia Timur.
Setelah
Habibie menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir selama
9 tahun (total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah
air oleh Pak Harto. Meskipun ia tidak mendapat beasiswa studi ke Jerman
dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang untuk mengabdi kepada
negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak Harto yang notabene
adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan kembali ke Indonesia
untuk memberi ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk membangun industri
teknologi tinggi di nusantara.
Bersama Ibnu
Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto pada
tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan
seperti berikut:
Gagasan
pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri
strategis
Gagasan
pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspitek)
Gagasan
mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan
awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie
menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998.
Namun,
dimasa tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan
berbagai kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan
Letjen (Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad karena memobilisasi
pasukan kostrad menuju Jakarta (Istana dan Kuningan) tanpa koordinasi atasan
merupakan salah satu kebijakan yang ‘menyakitkan’ pak Harto. Padahal Prabowo
merupakan menantu kesayangan Pak Harto yang telah dididik dan dibina menjadi
penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy Soeharto sebagai tersangka korupsi turut
membuat Pak Harto ‘gerah’ dengan kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih
dalam beberapa kali kesempatan di media massa, BJ Habibie memberi
lampu hijau untuk memeriksa Pak Harto. Padahal Tommy Soeharto merupakan putra
“emas’ Pak Harto. Dan sekian banyak kebijakan berlawanan dengan pemerintah
Soeharto dibidang pers, politik, hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan
politik Soeharto seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.
Habibie : Bapak Teknologi Indonesia*
Pemikiran-pemikiran
Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa
Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah
disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk
mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie
dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi,
beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah
Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri teknologi
tinggi seperti saran Habibie.
Tanggal 26
April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan menjadi
industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan :
Nurtanio meruapakan Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri
Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian direkstrurisasi, menjadi Dirgantara
Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun dialami oleh
industri strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.
Sejak
pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto
menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri
teknologi tinggi. Dan anggaran dengan angka yang sangat besar dikeluarkan
sejak 1989 dimana Habibie memimpin industri-industri strategis. Namun, Habibie
memiliki alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi, tentu
membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak
mungkin dirasakan langsung. Tanam pohon durian saja butuh 10 tahun untuk
memanen, apalagi industri teknologi tinggi. Oleh karena itu, selama
bertahun-tahun industri strategis ala Habibie masih belum menunjukan hasil dan
akibatnya negara terus membiayai biaya operasi industri-industri strategis yang
cukup besar.
Industri-industri
strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil
seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa
pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal,
tank, panser, senapan kaliber, water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan
combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Untuk skala internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai
proyek desain dan konstruksi pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall
C-130 (militer transport), Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300,
pesawat transport DO-31 (pesawat dangn teknologi mendarat dan lepas landas
secara vertikal), CN-235, dan CN-250 (pesawat dengan teknologi fly-by-wire).
Selain itu, Habibie secara tidak langsung ikut terlibat dalam proyek
perhitungan dan desain Helikopter Jenis BO-105, pesawat tempur multi function,
beberapa peluru kendali dan satelit. Teori
Pembangunan Ekonomi Habibie
Menjadi pimpinan di Industri Pesawat Terbang skala
besar di Jerman selama bertahun-tahun memberikan inspirasi dan mempengaruhi
pemikiran Habibie. Berlandaskan pengalaman itu, Habibie memiliki keyakinan
bahwa untuk bisa menjadi negara maju tidak selalu perlu melewati “tahap-tahap”
pembangunan yakni pertanian/agraris industri pengolahan pertanian, manufaktur,
industri teknologi rendah/menengah baru ke teknologi tinggi. Ia mengemukan
teori pembangunan ekonomi negara yang berbeda yakni “Dari negara agraris
langsung melompat ke tahap negara industri teknologi tinggi”, tanpa harus
menunggu dan melewati kematangan indsutri pertanian, atau tahapan industri
manufaktur serta teknologi rendah.
“The basis
of any modern economy is in their capability of using their renewable human
resources. The best renewable human resources are those human resources which
are in a position to contribute to a product which uses a mixture of
high-tech.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile
-1998.)
Dari teori pembangunan ekonomi tersebut, Habibie
sangat menekankan pada kualitas SDM bukan semata SDA. Dengan meningkatkan
sumber daya manusia (human resources), maka kita dapat membuat produk
berteknologi tinggi dimana memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini pun akan
mentriger berdirinya perusahaan-perusahaan pendukung dengan teknologi lebih rendah.
Jadi, prinsip pembangunan industri ala Habibie adalah Top-Down (dari tinggi
hingga ke rendah). Sedangkan secara konvensional adalah dari Down-Top (dari
industri teknologi rendah ke teknologi tinggi).
Selama masa pengabdiannya di Indonesia, Habibie memegang
47 jabatan penting seperti : Direkur Utama (Dirut) PT. Industri Pesawat Terbang
Nasional (IPTN), Dirut PT Industri Perkapalan Indonesia (PAL), Dirut PT
Industri Senjata Ringan (PINDAD), Kepala Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam, Kepala BPPT, Kepala BPIS, Ketua ICMI, dan masih banyak lagi.
Habibie : Bapak Demokrasi Indonesia
Ketika mendapat amanah menjadi Presiden RI ke-3,
kondisi ekonomi, sosial, stabilitas politik, keamanan di Indonesia berada di
ujung tanduk “revolusi”. Dengan mengambil kebijakan yang salah serta
pengelolaan ekonomi yang tidak tepat, maka Indonesia 1998 berpotensi masuk
dalam era “chaos” ataupun revolusi berdarah. (catatan : perlu diingat bahwa
reformasi 1998 menelan ratusan bahkan ribuan korban pembunuhan dan pemerkosaan
serta serangkaian kerusuhan, penjarahan, pembakaran, yang terutama
ditujukan pada etnis Tionghoa). Untungnya di tahun 1998, Indonesia
tidak masuk dalam era revolusi jilid-2 namun hanya masuk dalam era reformasi.
Belajar dari kesalahan presiden pendahulunya, Jenderal
Soeharto, Presiden Habibie memimpin Indonesia dengan cermat, cepat, telaten,
rasional dan reformis. Habibie menunjukkan perhatiannya terhadap keinginan
bangsa untuk lebih mengerti dan menerapkan prinsip umum demokrasi. Perhatiannya
didasarkan pada pengamatan Habibie pada pemerintahan Orde Lama dan sebagai
pejabat pada masa Orde Baru, dimana telah mengarahkan beliau untuk mempelajari
situasi yang ada. Melalui proses yang sistematik, menyeluruh, dan menyatu,
Habibie mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas, sebuah pengejewantahan
dari proaktif dan prediksi preventive atas interpretasi dari demokrasi sebagai
sebuah mesin politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam berbagai
agenda politik, ekonomi, hukum dan keamanan seperti:
- Kebebasan multi partai dalam pemilu (UU 2 tahun 1999)
- Undang Undang anti monopoli (UU 5 tahun 1999)
- Kebijakan Independensi BI agar bebas dari pengaruh Presiden (UU 23 tahun 1999)
- Kebebasan berkumpul dan berbicara, (selanjutnya masyarakat lebih mengenal istilah demonstrasi)
- Pengakuan Hak Asasi Manusia (UU 39 tahun 1999)
- Kebebasan pers dan media,
- Usaha usaha menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau dengan kata lain adalah pemerintahan yang baik dan bersih. (Membuat UU Pemberantasan Tindak Korupsi pada tahun 1999)
- Penghormatan terhadap badan badan hukum dan berbagai institusi lainnya yang dibentuk atas prinsip demokrasi;
- Pembebasan tahanan-tahanan politik tanpa syarat, (eg. Sri Bintang Pamungkas dan Muktar Pakpahan)
- Pemisahan Kesatuan Polisi dari Angkatan Bersenjata.
Dalam waktu yang relatif singkat sebagai Presiden RI,
Habibie telah memelihara pandangan modern beliau dalam demokrasi dan
mengimplementasikannya dalam setiap proses pembuatan keputusan. Peran penting
Habibie dalam percepatan proses demokrasi di Indonesia dikenal baik oleh
masyarakat nasional ataupun internasional sehingga beliau dianggap sebagai “Bapak
Demokrasi“. Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata. Ketika MPR,
institusi tertinggi di Indonesia yang memiliki wewenang untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie (masalah
referendum Timor-Timur), Habibie secara berani mengundurkan diri dari
pemilihan Presiden yang baru pada tahun 1999. Beliau melakukan ini, selain
penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut serta
dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap
bisa unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa sekali pidatonya
ditolak oleh MPR akan menjadi tidak etis baginya untuk terus ikut dalam
pemilihan. Keputusan ini juga dimaksudkan sebagai pendidikan politik dari arti
sebuah demokrasi.
Karena “demokratis”-nya Habibie, maka iapun memberikan
opsi referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menentukan sikap masa depannya.
Namun, perlu dicatat bahwa Habibie bukanlah orang yang bodoh dengan mudah
memberikan opsi referendum tanpa alasan yang jelas dan tepat. Habibie sebagai
Presiden RI memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor-Timur mengingat
bahwa Timor-Timur tidak masuk dalam peta wilayah Indonesia sejak deklarasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara yuridis, wilayah
kesatuan negara Indonesai sejak 17 Agustus 1945 adalah wilayah bekas kekuasaan
kolonialisme Belanda yakni dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Irian Jaya/
Papua). Ketika Indonesia merdeka, Timor-Timur merupakan wilayah jajahan
Portugis, dan bergabung bersama Indonesia dengan dukungan kontak senjata.
Bagi sebagian orang menganggap bahwa masuknya militer
Indonesia di Timor-Timur merupakan bentuk neo-kolonialisme baru (penjajahan
modern) dari Indonesia pada tahun 1975. Seharusnya Indonesia tidak ikut
campur pada proses kemerdekaan Timor-Timur dari penjajahan Portugis. Jadi, kita
dapat memahami dibalik landasan Habibie dimana provinsi Timor-Timur lepas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa kasus Aceh dan
Papua berbeda dengan Timor-Timur.
Habibie : Master of Economic
Sejak era reformasi 1998, tampaknya hanya Habibie yang
menjadi presiden yang benar-benar sukses mengelola ekonomi dengan baik. Dalam
kondisi yang amburadul, kacau balau baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial
dan tiada hari tanpa demonstrasi, Habibie mampu membawa ekonomi Indonesia yang
lebih baik.
Meskipun Presiden Singapura Lee Kuan Yeew berusaha
mendiskritkan kemampuan Habibie untuk memimpin Indonesia, toh Habibie
menunjukkan bukti. Ketika banyak orang yang menyangsikan bahwa Habibie mampu
bertahan selama 3 hari sebagai Presiden, namun semua dapat dilalui. Lalu,
pihak-pihak yang tidak suka dengan Habibie pun menyampaikan opini bahwa Habibie
tidak mampu bertahan lebih dari 100 hari. Sekali lagi, Habibie membuktikan
bahwa ia mampu memimpin Indonesia dalam kondisi kritis.
Dari nilai tukar rupiah Rp 15000 per dollar diawal
jabatannya, Habibie mampu membawa nilai tukar rupiah ke posisi Rp 7000 per
dollar. Ketika inflasi mencapai 76% pada periode Januari-September 1998,
setahun kemudian Habibie mampu mengendalikan harga barang dan jasa dengan
kenaikan 2% pada periode Januari-September 1999. Indeks IHSG naik dari 200 poin
menjadi 588 poin setelah 17 bulan memimpin. Tentu, indikator-indikator
kesuksesan ekonomi era Habibie tidak dapat diikuti dengan baik oleh masa
pemerintah Megawati maupun SBY.
Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie
sebenarnya tidak lepas dari usaha keras dan perubahan mendasar dari para tokoh
reformis yang duduk di kabinet seperti Adi Sasono (Men. Koperasi), Soleh
Salahuddin (Men. Kehutanan dan Perkebunan), Tanri Abeng (Men. BUMN). Namun,
perlu disadari bahwa Habibie bukanlah presiden yang benar-benar reformis dalam
menolak kebijakan ekonomi ala IMF. Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa
menjalana 50 butir kesepakatan (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF,
sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia pada hakikatnya lebih pada
penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan ekonomi “terapis” ataupun
“obat tradisional”. Sehingga ketika meninggalkan tampuk kekuasaan,
Indonesia masih rapuh.
Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai
tokoh-tokoh Orba duduk di kabinetnya, padahal masyarakat menuntut reformasi.
Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai Presiden Transisi,
bukan Presiden yang Reformis.
Habibie : Cendekiawan Muslim
Kekuasaan adalah amanah dan titipan Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, bagi mereka yang percaya atas eksistensi-Nya. Bagi mereka yang
tidak percaya atas eksistensi-Nya, kekuasaan adalah amanah dan titipan rakyat.
Pemilik kekuasaan tersebut, setiap saat dapat mengambil kembali milik Nya
dengan cara apa saja.
(Habibie :
Detik Detik yang Menentukan, halaman 31)
Selain memiliki kecerdasan yang tinggi (mungkin
orang terjenius dari Indonesia), Habibie dikenal sebagai cendekiawan muslim
yang taat sekaligus reformis. Dalam menghadapi berbagai kesulitan, Habibie
tidak luput dari do’a dan sholat untuk mendapat petunjuk atau ilham. Mendapat
jabatan sebagai Presiden bagi Habibie merupakan amanah dan titipan dari Allah
untuk mengabdi dengan sepenuh hati.
Meskipun tidak terjun dalam dunia politik dan
kekuasaan, Habibie tetap memberikan sumbangsih kepada bangsa Indonesia dengan
mendirikan The Habibie Centre pada 10 November 1999. Habibie
Center merupakan organisasi yang berusaha memajukan proses modernisasi dan
demokratisasi di Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas budaya
dan nilai-nilai agama. Ada dua misi utama Habibie centre yakni (1)
menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang mengakui,
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengkaji dan
mengangkat isu-isu perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, dan (2)
memajukan dan meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia dan usaha
sosialisasi teknologi. Beberapa kegiatan yang dikenal luas oleh masyarakat dari
Habibie Centre yakni seminar, pemberian beasiswa dalam dan luar negeri, Habibie
Award serta diskusi mengenai peningkatan SDM maupun IPTEK.
Selain mendirian The Habibie Centre, Habibie juga
berjasa dalam pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7
Desember 1990 atas persetujuan Soeharto. ICMI merupakan wahana menampung
cendekiawan-cendekiawan muslim untuk bersama-sama berkontribusi bagi bangsa dan
masyarakat. Pada awalnya, ICMI didirikan untuk menampung aspirasi pengusaha
non-China yang benci akan kekayaan dan pengaruh dari keluarga etnis China
yang kaya. ICMI mempunyai bank sendiri dan koran harian yang diberi nama
Republika. Banyak umat muslim yang ikut terdaftar dalam keanggotaan ICMI
termasuk cendekiawan pengkritik pemerintah Soeharto yakni (Alm) Prof.
Nurcholish Majid dan Prof. Amien Rais.
Kritikan Untuk Seorang Habibie ketika
Menjadi Presiden
Tidak ada gading yang tidak tidak retak, begitu juga
halnya pada diri BJ Habibie. Ada beberapa kepribadian dan sikap/kebijakan BJ
Habibie khususnya di masa pemerintahannya yang kontroversial dan dianggap
buruk. Dibidang kepribadian, BJ Habibie dikenal sebagai orang yang kurang bisa
dikritik (langsung reaktif), meskipun disisi lain beliau sangat menghargai
pendapat orang lain, dan senang berdebat. Hal ini sangat mungkin disebabkan
karena beliau terlampu jenius, terlalu cerdas. Salah satunya adalah
kengototan Menristek BJ Habibie membeli 36 kapal perang bekas Jerman Timur pada
1992. Padahal terjadi pembengkakan pembelian kapal perang bekas dari USD 12.7
juta menjadi USD 1.1 miliar.
Ketika menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto,
banyak orang berharap agar BJ Habibie dapat bertindak tegas kepada Pak Harto
yang diduga melakukan KKN, setidaknya gurita KKN di Cendana dan kroni Soeharto
lainnya. Namun, selama menjadi Presiden RI, BJ Habibie tidak pernah memeriksa
Soeharto. Pres Habibie dianggap memasang badan melindungi Soeharto
sampai-sampai Jam Intel Kejagung Mayjen (Purn) Syamsal Djalal dipecat. Menurut
pengakuan mantan Jam Intel Kejagung Syamsul Djalal, ia dipecat lantaran
mengusulkan agar Pak Harto secepatnya dibawah ke pengadilan. Bisa dimaklumi
pula bahwa Habibie dalam posisi dilematis, karena bagaimanapun Pak Harto adalah
salah satu gurunya.
Hal lain yang menjadi catatan hitam Pak Habibie adalah
penangangan kasus Bank Bali. Presiden BJ Habibie dianggap kurang serius
menangani kasus yang melibatkan orang-orang yang dekat dengan Habibie.
Mereka yang disebut-sebut terlibat dalam skandal Bank Bali diantaranya adalah
Timmy Habibie (adik kandung Habibie), AA Baramuli (Ketua DPA), Setya Novanto
(Wa.Bendara Golkar) dan Tanri Abeng. Dikalangan pengusaha, terlibat konglomerat
hitam Djoko Tjandra yang selama ini dekat dengan petinggi Golkar.
Karena pola
pikirnya tersebut, maka saya menganggap beliau sebagai bapak teknologi
Indonesia, terlepaskan seberapa besar kesuksesan industri strategis ala
Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992, IMF menginstruksikan kepada
Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada IPTN, sehingga pada saat itu
IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan rencana Habibie membuat
satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar
ke-2 pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal
ini didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman
kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke
Indonesia untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal
ini terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi
pangsa pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar